Oleh: Agus Ramdani

Arti-Bunga-MelatiMelati Dari Jayagiri

Sebuah lagu yang terlahir di Tahun 1968 tentang keindahan hutan berserta isinya karya seniman tanah Sunda, Iwan Abdurahman yang berjudul “Melati dari Jayagiri” dengan lirik melankolis dan sarat makna, ternyata menyiratkan semiotik bagi dinamika Pamong Belajar di Indonesia, dulu, kini dan nanti. Bagaimana tidak? Mari kita telisik beberapa bait yang terdapat dalam liriknya “Melati dari Jayagiri, kuterawang keindahan kenangan, mentari kelak kan tenggelam, gelap kan datang dingin mencekam, harapanku bintang-kan terang memberi sinar dalam hatiku!

Ada apa dengan Jayagiri? Ternyata istilah Pamong Belajar pertama kali muncul sebagai dampak dari pelaksanaan program Paguyuban Kegiatan Belajar (PKB) yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Latihan Nasional Pendidikan Masyarakat (PPLNPM) atau pada Tahun 2015 disebut dengan nomenklatur Pusat Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal (PP PAUDNI) Regional I Jayagiri. PKB merupakan sebuah program yang bergerak dalam Pendidikan Luar Sekolah (PLS), dan untuk mendukung pelaksanaan program tersebut, setelah melalui serangkaian ujicoba, dari sekitar tahun 1976 sampai dengan tahun 1979 yang didonaturi United States Agency for International Development (USAID) melalui program bantuan world educations, akhirnya jajaran yang terlibat dalam program PKB pada waktu itu sepakat memberi label “Pamong Belajar” untuk menyebut tenaga lapangan pelaksana program PLS di lab-site atau lokasi ujicobanya yang tersebar di sekitar Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat.

Cerita yang indah untuk dikenang memang, jika kita bayangkan waktu itu para stakeholder PPLNPM berdiskusi, berdialektika dan bersinergis sampai akhirnya berhasil melahirkan ujung tombak pelaksana program PLS di lapangan yang bernama Pamong Belajar. Lalu bagaimana eksistensi Pamong Belajar di dunia PLS atau PNF sekarang? Apakah masih menjadi ujung tombak keberhasilan? atau justru mati suri, hidup enggan mati-pun tak mau dan menunggu untuk menjadi kenangan. Tapi seperti yang disiratkan dalam lagu Abah Iwan sebutan akrab Iwan Abdurahman, tetaplah tenang bagaimanapun kondisi Pamong Belajar sekarang!

Dalam kehidupan kita sebagai manusia, tidak selamanya akan terang benderang. Namun jika kita sedang melalui kegelapan, janganlah berputus asa. Jika dalam keadaan gelap malam, lihat saja ke langit, barangkali ada bintang di sana. Bintang memang tidak sehangat matahari. Tetapi, harapan yang tumbuh karena sinar bintang itulah yang harus membuat kita kuat menunggu matahari tebit kembali esok hari dan untuk Indonesia Pamong Belajar teruslah berkarya.

Di Balik Istilah Pamong Belajar

Darimana muncul isme untuk mempergunakan istilah Pamong Belajar waktu itu? Selidik punya selidik, ternyata pemilihan istilah Pamong Belajar bersumber dari gagasan adihulung bapak pahlawan nasional pendidikan kita, yaitu Ki Hajar Dewantara (1889-1959). Beliau-lah yang pertama kali memperkenalkan istilah “Pamong” untuk menggantikan istilah guru di sekolah yang dipimpinnya yaitu Taman Siswa yang didirikan pada 3 Juli Tahun 1922.di Yogyakarta.

Pemilihan istilah “Pamong” tersebut bukan tanpa sebab, karena jika dilihat dari aspek kebahasaan, secara homonim “Pamong” dirujuk dari kata kerja dalam bahasa Jawa yaitu “Among” atau “Momong” yang bisa diartikan sebagai kegiatan merawat, memandu dan mendidik, sementara Pamong adalah pelakunya yaitu berperan sebagai pendidik.  Di Taman Siswa pendidik laki-laki disebut “Ki” sementara pendidik perempuan disebut “Nyi”, hal tersebut dilakukan oleh Ki Hajar Dewantara sebagai simbol dan sikap untuk menjaga kedekatan antara pendidik dengan peserta didiknya.

Dengan kata lain, pendidik bukan sekedar berperan sebagai guru yang harus “digugu” dan “ditiru”, melainkan harus “ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” yang berarti di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat dan di belakang memberikan daya dan kekuatan. Semboyan itulah yang kini menjadi spirit dunia pendidikan di Indonesia. Dan seperti itulah harusnya figur para pendidik, termasuk Pamong Belajar dalam memberikan kontribusinya terhadap mencerdaskan kehidupan bangsa melalui jalur pendidikan nonformal dan pendidikan informal.

Seiring perkembangan jaman, istilah Pamong di Taman Siswa ternyata tidak dipergunakan untuk menyebut pendidik di sekolah-sekolah Indonesia secara keseluruhan, pemerintah waktu itu melalui kebijakannya menetapkan istilah “Guru” yang dipergunakan untuk menyebut seseorang yang berprofesi sebagai pendidik di sekolah-sekolah Indonesia. Hal ini lebih banyak dilatarbelakangi alasan historis dan universalitas, karena kemunculan istilah Guru jauh lebih dahulu muncul sebelum istilah Pamong diperkenalkan Ki Hajar Dewantara.

Secara historis, Sekolah Guru (Kweekschool) di Indonesia sudah didirikan oleh pemerintahan Kolonial Belanda Tahun 1852 di Kota Solo. Sementara secara universal istilah Guru juga sudah lama disematkan kepada orang-orang yang bekerja sebagai pendidik dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama di Indonesia. Pada masa kerajaan Budha dan Hindu orang belajar di wihara, dan Biksu yang mengajarkan bahasa Sansekerta disebut guru. Setelah agama Islam masuk, ulama dan kiayi yang mengajarkan al-qur’an disebut juga guru. Demikan juga halnya pada masa penjajahan Portugis dan Belanda, para pendeta yang mengajarkan agama Kristen disebut juga guru. Jadi pantas jika pemerintah waktu itu lebih memilih untuk mempergunakan istilah Guru, dibandingkan istilah Pamong.

Sebagai kata sifat “Pamong” sebenarnya merupakan spirit yang harus tertanam dalam diri siapapun yang berperan sebagai pelayan masyarakat, karena setiap pelayan masyarakat wajib mempunyai perilaku asah, asih dan asuh. Dengan kata lain, harus mempunyai jiwa yang welas asih demi terciptanya layanan yang optimal kepada masyarakat.

Namun, dalam perkembangannya istilah Pamong lebih dikenal di masyarakat karena dilekatkan pada jabatan pranata sosial dan jawaban birokrasi di luar dunia pendidikan. Diantaranya Pamong Praja yang merupakan perangkat pemerintah daerah yang bertugas untuk memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat. Ada juga Pamong Desa yang hanya dipergunakan di Pulau Jawa untuk menyebut orang-orang yang menangani administrasi pemerintahan desa. Kemudian ada Pamong Budaya yang bertugas untuk melaksanakan kegiatan teknis pembinaan dan pengembangan kebudayaan. Baru kemudian, 20 tahun setelah Ki Hajar Dewantara meninggal dunia, tepatnya pada Tahun 1979 istilah Pamong secara empiris kembali dimunculkan dalam sistem pendidikan Indonesia, tepatnya dalam sistem Pendidikan Luar Sekolah atau biasa disingkat PLS dengan Istilah Pamong Belajar.

Embiro Kelahiran Pamong Belajar

Sekitar Tahun 1976, PPLNPM Jayagiri yang sudah berdiri sejak Tahun 1961 berdasarkan SK Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Nomor 523228/UU/ 1960 mempunyai fungsi sebagai lembaga penelitian dan pengembangan usaha-usaha pendidikan masyarakat, pusat latihan pendidikan tenaga masyarakat, serta lembaga produksi alat-alat pendidikan masayarakat, merinitis sebuah program PLS di masyarakat dengan nama  Paguyuban Kegiatan Belajar (PKB). PKB idealnya merupakan wadah berbagai kegiatan masyarakat, bukan hanya program PLS semata. Bentuk kegiatan di PKB ditentukan sendiri oleh warga masyarakat dengan memperhatikan potensi dan kebutuhan belajarnya. Namun pada perkembangannya, program-program di PKB yang berjalan secara konsisten adalah program-program PLS, seperti PBH Fungsional, PAMA PAMI, dan kursus.

PKB dikelola dengan dua pendekatan. Pertama, proses objektif berupa penghayatan dan penyiapan diri masyarakat serta pengelola PKB. Kedua konten objektif atau aksinya. Kedua pendekatan inilah yang sebenarnya menjadi tugas utama Pamong Belajar pada awal kelahirannya. Dengan kata lain, Pamong Belajar tidak sebatas berperan sebagai pendidik, melainkan juga sebagai tenaga kependidikan.

Sebagai pendidik, Pamong Belajar tidak mengajar seperti guru di dalam kelas belaka, tetapi mendidik dalam rangka memfasilitasi atau pendidik sebagai fasilitator keberdayaan masyarakat. Sementara, sebagai tenaga kependidikan, Pamong Belajar adalah pengerak dan sebagai koordinator kegiatan PLS di masyarakat, atau jika meminjam istilah pernikahan, Pamong Belajar berperan sebagai “Penghulu” yang bertugas untuk menggabungkan berbagai sumber belajar dan potensi yang terdapat di masyarakat dengan kebutuhan belajar warga masyarakat itu sendiri. Atau jika dalam istilah pacaran, seringkali berperan sebagai “Macomblang” jika sudah diketahui kebutuhan belajar masyaratnya, dan ternyata Ia tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka Ia akan mencarikan sumber belajar yang kompeten, kemudian merekrutnya dan memberikan bayaran kepada sumber belajar tersebut.

Apa yang dibawa Pamong Belajar untuk bangsa adalah orang-orang dengan skill langka yang tidak dilahirkan setiap hari. Sejatinya, seorang Pamong Belajar memang dilahirkan dengan kekuatan yang melampaui berbagai disiplin ilmu humaniora. Pamong Belajar bukan pendidik yang sekedar dituntut mengampu satu atau dua materi ajar tertentu, melainkan pendidik yang harus memahami potensi dan kebutuhan belajar masyarakat yang dinamis sifat dan bentuknya. Pamong Belajar adalah seorang pendidik yang harus mampu memfasilitasi terbentuknya proses objektif dan konten objektif dalam diri dan dinamika kehidupan masyarakat. Seorang pendidik yang harus mampu memotivasi masyarakat untuk terus belajar dan mencintai pengetahuan serta keterampilan untuk peningkatan kualitas kehidupannya.

PKB-lah embrionya dan PPLNPM adalah rahimnya, yang kemudian pada Tahuh 1979 bertepatan dengan nomenkaltarur PPLNPM Jayagiri menjadi Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB) Jayagiri berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0202/0/1978 terciptalah benih-benih yang penyebutan istilah “Pamong Belajar” bagi semua pendidik dan tenaga teknis pendidikan masyarakat di PKB. Pengistilah tersebut merupakan hasil permenungan, diaktelika dan kajian historis, dan kesepakatan para pengampu program PKB di BPKB Jayagiri yang dirujuk dari peristilah bagi para pendidik di Taman Siswa. Sehingga terjadi kesepakatan

Pamong belajar terlahir dibekali dengan misi sebagai penggerak, pelaksana, dan koordinator program-program PLS di masyarakat. Waktu itu, statusnya bukan PNS seperti sekarang, melainkan sebagai tenaga honorer dan tenaga magang. Pamong Belajar yang berstatus tenaga honorer direkrut dari warga masyarakat dan pemuda berdomisili di lokasi ujicoba PKB. Sedangkan Pamong Belajar yang berstatus tenaga magang berasal dari para mahasiswa IKIP atau UPI Bandung sekarang. Memang dahulu, semua mahasiswa IKIP jurusan PLS akan dinyatakan lulus dan berhak untuk menyandang gelar sarjana, apabila mereka sudah magang di Jayagiri, terutama para mahasiswa tingkat akhir atau pada semester 6 (enam) wajib magang sebagai Pamong Belajar di Jayagiri. Dengan kata lain, magang menjadi Pamong Belajar selama satu semester di Jayagiri merupakan bagian dan syarat kelulusan mahasiswa PLS IKIP waktu itu.

Pamong Belajar, Antara Ada dan Tiada

Karena salah satu fungsi BPKB Jayagiri sebagai Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga (Diklusepora) dengan wilayah kerja nasional dan secara teknis edukatif serta administratif bertanggung jawab dan di bina oleh Direktorat Pendidikan Tenaga Teknis (Diktentis), maka para BPKB Jayagiri berupaya terus untuk melakukan penetrasi dengan cara sosialisasi dan promosi tentang keberhasilannya dalam menciptakan istilah baru bagi para pendidik dan tenaga teknis di PKB dengan sebutan “Pamong Belajar” kepada  para stakeholder di Dislusepora dan Diktentis, baik secara personal dengan memanfaatkan hubungan diadik antar personal, maupun melalui kegiatan-kegiatan keprofesian dan formal yang memang secara rutin dilaksanakan setiap tahun anggarannya.

Dalam perkembangannya, akhirnya penetrasi tersebut mulai membuahkan hasil, sekitar Tahun 1982 atau 3 (tahun) tahun setelah kelahiran istilah Pamong Belajar, Dikluspora (Kini Ditjen PAUDNI) waktu itu di bawah komando Almarhum Prof. Washington Pandapotan Napitupulu (82 tahun), mulai sepakat untuk menyebut pendidik PLS, dengan sebutan “Pamong Belajar”. Akhirnya secara konvensi dan perlahan, di semua BPKB dan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) tenaga teknis yang berperan sebagai tutor maupun fasilitator (dikemudian hari muncul dalam penjelasan Pasal 7 UU Nomor 2 Tahun 1989), namun tentu saja memerlukan jalan terjal untuk mencapai rekognisi Pamong Belajar sebagai sebuah profesi, sehingga saat itu tidak langsung diakui dalam undang-undang sistem pendidikan kita dan tentunya belum berstatus PNS seperti saat ini.

Sepintas mengenai kelahiran SKB, seperti yang dituliskan oleh Fauzi Eko Pranyono dalam blognya tertanggal 27 Maret 2013, SKB merupakan UPT Pusat yang lahir pada Tanggal 23 Juni 1978, namun saat itu belum ada pamong belajar dalam struktur organisasi SKB. Pembentukan SKB waktu itu dari alih fungsi Kursus Penelitian Pendidikan Masyarakat (KPPM), Pusat Latihan Pendidikan Masyarakat (PLPM), dan Pusat Pembinaan Aktivitas Generasi Muda (PPAGM). Dengan kata lain, pembentukan SKB untuk meneruskan tradisi KPPM dan PLPM sebagai lembaga penyelenggara pelatihan bagi tenaga teknis PLS dan instruktur olah raga. Sehingga dipastikan pada awal pembentukannya, di SKB belum terdapat pamong belajar, karena belum dikenal istilahnya dan yang mulai dikenal adalah dengan sebutan pamong PLS.

Dekade awal Tahun 80-an juga dapat dipandang sebagai masa keemasan bagi dunia PLS di Indonesia, ditandai oleh pemberian mobil Toyota Land Cruiser PJ/ BJ atau lebih dikenal dengan sebutan Toyota Hardtop kepada UPT-UPT untuk mendukung optimalisasi kinerjanya, mobil tersebut diadakan dengan mengandalkan bantuan dari World Bank untuk pelaksanaan program-program PLS di Indonesia. Mobil Toyota Hardtop pada zamannya identik dengan mobil proyek, mobil TNI atau mobil pejabat, mobil yang cukup tangguh untuk menjelajah daerah dengan jalan berbatu, berlumpur atau perbukitan. Bisa dibayangkan betapa bangganya “Pamong Belajar” waktu itu melaksanakan tugas dengan mengendari mobil tersebut, sebagai bentuk penghargaan atas dedikasinya memberdayakan masyarakat melalui program PLS.

Secara empiris, akhirnya tenaga teknis, baik yang berperan sebagai tutor, fasilitator, maupun teknisi sumber belajar di SKB, serta peniliti/ pengembang bidang pendidikan di BPKB, mulai terbiasa disebut dengan Pamong Belajar. Namun sayang sampai dengan Tanggal 27 Maret 1989 yaitu tanggal ditandatanganinya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional oleh Presiden Soeharto, istilah Pamong Belajar belum juga diakui sebagai bagian dari tenaga kependidikan PLS.

Di Pasal 27 UU tersebut, diungkapkan bahwa tenaga kependidikan, meliputi tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, penilik, pengawas, peniliti dan pengembang di bidang pendidikan, laboran, dan teknisi sumber belajar. Selanjutnya dalam penjelasan pasal 27 diungkapkan bahwa yang termasuk tenaga pendidik adalah tutor dan fasilitator. Dengan kata lain, dari Tahun 1979 sampai dengan tanggal 27 Maret 1989, tenaga teknis di BPKB dan SKB belum diakui secara yuridis sebagai Pamong Belajar, tetapi secara teknis dan empiris mereka sudah melaksanakan tugas “Kepamongan”.

Pengakuan Profesi Pamong Pelajar

Delapan bulan kemudian, tepatnya tanggal 27 November 1989, terbitlah Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 127/Menpan/1989 tentang Angka Kredit Jabatan Fungsional Pamong Belajar. Mungkin hal tersebut merupakan sesuatu yang mengejutkan bagi dunia PLS pada masa itu, bagaimana tidak karena hanya berselang beberapa bulan saja dari terbitnya UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2, Pamong Belajar diakui sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai pejabat fungsional yang berada di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk menyuluh dan mendidik warga belajar melalui pendidikan luar sekolah.

Terjadilah euphoria atau kegembiraan, terutama pada diri tutor, fasilitator atau tenaga teknis PLS, terutama yang berdomisili di SKB dan tidak kalah juga yang berada di BPKB, mereka akhirnya memperoleh payung hukum yang jelas untuk menggapai status sebagai PNS yang berada di lingkungan Depdikbud. Terutama bagi mereka yang memiliki ijazah serendah-rendanhnya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), apalagi yang sudah memiliki ijazah Diploma I Kependidikan, karena merekalah yang akan pertama kali diangkat sebagai PNS dengan jabatan fungsional Pamong Belajar.

Adapun jabatan fungsional Pamong Belajar yang dijelaskan dalam Pasal 1 Ayat 3 Kepmenpan 1989 tersebut, adalah

  1. Asisten Pamong Belajar Muda;
  2. Asisten Pamong Belajar Madya;
  3. Asisten Pamong Belajar;
  4. Ajun Pamong Belajar;
  5. Ajun Pamong Belajar Muda;
  6. Ajun Pamong Belajar Madya;
  7. Pamong Belajar Pratama;
  8. Pamong Belajar Muda;
  9. Pamong Belajar Madya;
  10. Pamong Belajar Utama Pratama, dan;
  11. Pamong Belajar Utama Muda.

Adapun bidang kegiatan jabatan Pamong Belajar tersebut, pada awalnya sebagai berikut:

  1. Pendidikan, meliputi: (a) Mengikuti dan memperoleh ijazah formal; dan (b) Mengikuti dan memperoleh STTP dan Latihan Kedinasan;
  2. Penyuluhan dan proses belajar mengajar, meliputi: (a) Melaksanakan penyuluhan terhadap warga belajar dan tutor/ fasilitator. (b)Melaksanakan proses belajar mengajar terhadap warga belajar dan tutor/fasilitator.
  3. Pengembangan profesi, meliputi: (a) Melakukan kegiatan karya tulis/ karya ilmiah di bidang pendidikan; (b) Membuat alat peraga/ alat pelajaran; (c) Menemukan teknologi tepat guna bidang pendidikan; (d) Mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum pendidikan luar sekolah.
  4. Penunjang penyuluhan dan prose belajar mengajar, meliputi: (a) Melaksanakan pengabdian kepada masyarakat. (b) Melaksanakan kegiatan pendukung pendidikan.

Jadi jelaslah, ternyata Pamong Belajar memang terlahir tugas pokok sebagai pendidik. Sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 2 bahwa bidang kegiatan Pamong Belajar hanya seputar melaksanakan penyuluhan terhadap warga belajar dan tutor/fasilitator dan melaksanakan proses belajar mengajar terhadap warga belajar dan tutor/fasilitator.

Simpulan bukan Penutup

Gonjang ganjing tentang keluhan beratnya tugas Pamong Belajar sebagai profesi, tetapi memang harus “terpaksa” dilakukan sebagai bentuk profesionalitas Pamong Belajar saat ini, lumrahnya adanya. Disamping tidak ada pemilahan bobot tugas pokok antara Pamong Belajar Pertama, Muda, dan Madya, serta kategorisasi domilisi asal keja Pamong Belajar di SKB, BKPB, BP PAUDNI, dan PP PAUDNI yang berdampak pada timbulnya perasaan diskrimasi terhadap diri Pamong Belajar dikarenakan kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Tapi yang jelas, Pamong Belajar saat ini memang diharuskan terlahir dengan kekuatan yang melampaui berbagai disiplin ilmu, Dengan kata lain, kita sekarang dituntut menjadi manusia yang ber-skill langka bagaimana tidak? Sepintas dengan pemikiran praktis, Guru yang di sertifikasi yang diampunya dominan di bidang KBM semata! Pengkajian? Itu orang-orang LIPI di bayar mahal untuk terus berunitas di pengkajian, dan apalagi Model, seorang dosen bisa diakui menjadi profesor itu salah satunya karena dia berhasil menciptakan model. Jelaslah sudah, Pamong Belajar adalah orang-orang yang tidak bisa dilahirkan setiap hari, bahkan kini banyak Pamong Belajar yang sudah layu sebelum berkembang, bahkan memilih walkout.

Sudah saatnya kita tengok sejenak ke belakang, seperti halnya kita menengok spion ketika akan coba menancap gas dengan niat menyalip kendaraan di depan, supaya tidak tertabrak dari arah belakang. Supaya Pamong Belajar tidak terseruduk banteng dan akhirnya terpental seperti halnya Totero amatiran, dan bisa menjadi seorang matador di arena alternativa.

Jauh-jauh untuk niat menggurui, karena Pamong Belajar bukan guru, dan sampurasun kepada para senior, terutama kepada bapak senior saya yang saya sangat banggakan dalam kompetensi menulisnya “resfect” saya sebagai bagian dari Pamong Belajar merasa beruntung sekali masih sejamanan dengan calon legenda hidup Pamong Belajar “ Fauzi Eko Pranyono”. Semoga hasil wawancara tak berstruktur dengan Ibrahim Yunus dan Moch Syamsuddin, sebagai bagian atau pelaku sejarah yang ditambah dengan formulasi hasil studi dokumentasi ini, dapat menambah kualitas tulisan yang bapak jauh hari sudah publikasikan di dunia maya, dunianya para blogger dan kini dunia satu-satu tempat dimana kita dapat saling bersilaturahmi, jauh tapi tetap dekat dihati.

Dipastikan tidak sempurna, karena layaknya sebuah kajian etnografis-historis membutuhkan waktu, biaya, dan konstentrasi yang tidak sedikit. Namun, semoga bermanfaat bagi teman-teman Pamong Belajar semua, sebagai ulasan untuk berkontemplatif tentang jadi diri kita sebagai Pamong Belajar. Spesial kepada sahabat-ku yang nun jauh di ujung sana, Mr Agus Sadid, M.Pd, mari kita sudahi keluhan yang harus kita lakukan sekarang adalah fokus ke masa depan, dengan tetap berkaca pada masa lalu, dan berjalan pada masa kini. Mari kita melangkah dan yakin kita bisa memproduksi sesuatu di masa depan, sekira itulah yang bisa membuat kita bergairah dan tentunya itu bisa kita lakukan bersama-sama, bukan sendiri-sendiri. Itulah alasan mengapa sebuah kencan akhirnya berakhir di pernikahan. Semuanya adalah tentang masa depan. Salam satu hati Pamong Belajar Indonesia. (20 Maret 2015, Bandung Jawa Barat).

Agus Ramdhani*) Agus Ramdani, S.Sos, M.M.Pd adalah Pamong Belajar di PP PAUDNI Regional I Bandung