Kegiatan Jambore 1000 PTK-PNF, tanggal 28 Juli sampai 2 Agustus 2010, yang dipusatkan di asrama haji sukolilo Surabaya membawa penulis berkenalan dengan sosok Yudil khatim, yang konon beliau adalah “orangnya” Fasli Jalal, Wamendiknas. Orangnya masih muda, cerdas dan gagasannya pun terdengar  “aneh dan nyeleneh”.  Malam itu, dalam obrolan kami bertiga dengan Arif Supadmo, penilik dari Malang, Yudil dengan gayanya bak seorang pengamat mengatakan bahwa dana untuk program Pamong Belajar (PB) dan Widya ISwara (WI) yang dikontrak untuk mendidik anak-anak para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di perbatasan Kalimantan sangat besar namun hasilnya tidak terlalu signifikan. Ada sekitar 109 orang PB dan WI yang dikontrak dengan gaji 10 juta potong pajak 15%. Dana yang tidak sedikit itu, masih kata si Yudil, jika dikumpulkan kemudian dibuat membangun semacam pondok pesantren dengan asramanya untuk “ngurusi” anak-anak TKI, menurutnya akan jauh lebih bermanfaat dan tampak hasilnya. Sejalan dengan gagasan liar yang dilontarkan oleh anak padang ini, Arif Supadmo menambahkan bahwa program mendidik anaknya TKI dengan model asramanya Yudil itu haruslah diupayakan memakai metode dan kurikulum sekolah formal dengan ditambah keterampilan fungsional ala pendidikan nonformal (educational based vocational) sebagai bekal cari kerja.

konon, nama programnya adalah pengiriman guru untuk anak-anak TKI di daerah perbatasan, padahal senyatanya yang berangkat bukan guru tapi PB dan WI yang dikirim. “Mereka itu bukan guru sehingga cara mengajarnya pun tidak seperti guru, dan lulusannya pun juga tidak seperti hasil didikan guru (untuk tidak mengatakan bahwa hasilnya sekedar dipaksakan setara dengan sekolah formal).” Kata staf  Direktorat yang sedang mengambil program doktor di negeri Cina. Masalahnya, dana yang begitu besar itu sudah terlanjur dianggarkan, sehinga kalau tidak dilaksanakan malah akan disalahkan, bisa-bisa kemendiknas dianggap tidak becus menghabiskan dana yang dimintanya, padahal untuk mewujudkan program ini sulitnya minta ampun.

kalau dipikir-pikir, PB dan WI itu memang bukan guru dimana cara mengajar dan mendidiknya hanya setara dengan guru. PB dan WI lebih pada fasilitator dalam berbagai diklat, workshop dan lokakarya dengan menggunakan metode andragogi yang partisipatoris (namun ada juga yang tidak). Sedangkan mengajar anak usia sekolah itu lebih banyak menggunakan paedagogi. Namun banyak juga PB yang mumpuni mengelola kelas mirip seperti guru formal, khususnya kawan-kawan PB SKB yang dengan bantuan dana BOP menyelenggarakan program kejar kesetaraan paket dengan mayoritas sasaran didiknya relatif  pada kisaran usia sekolah, sehingga KBM nya, Mapel nya, Jadwal nya, Kurikulum nya, semuanya dibuat sama persis seperti pada sekolah formal. Bahkan peserta didiknya juga diberi baju seragam agar bangga sebagai peserta didik paketan

Obrolan di halaman asrama haji malam itu gayeng diantara berseliwerannya para peserta jambore yang sibuk menyiapkan diri mengikuti lomba maupun jalan-jalan melihat pameran dan stan yang menjual aneka souvenir khas jambore. penulis pun mencoba mengangkat tentang rencana pemerintah mengganggarkan 2,8 T untuk daerah perbatasan, ternyata ditanggapi dingin oleh si calon doctor ini, dia mengatakan bahwa anggaran yang besar itu pastilah arahnya pada pembangunan fisik, jika pun ada dana yang dialokasikan untuk pendidikan, maka arahnya pastilah pada pendidikan formal dalam bentuk pengadaan (rehab) gedung sekolah dan sarana prasarana penunjang (yang keawetannya dan kekokohannya masih dipertanyakan) dan kecil kemungkinannya dana itu diarahkan juga untuk program pendidikan nonformal yang ditangani oleh SKB yang berada di perbatasan (daerah terpencil). “Program keterampilan bagi pemuda pengangguran itu sering kali diarahkan ke dinas sosial atau dinas tenaga kerja.” Ujarnya meyakinkan, sangat meyakinkan sekali cara ngomongnya, cocok sebagai kandidat doktor yang sekaligus calon menempati posisi di Direktorat, nanti ketika waktunya telah tiba.

gagasan liar dari orang padang kapiran ini (istilahnya fauzi, ketua ipabi) sangat menarik jika didiskusikan dengan melibatkan banyak orang. Aneka komentar pun pastilah akan muncul secara liar pula sesuai dengan tingkat intelektual dan kepentingan masing-masing pribadi. Seperti Jito, pamong belajar dari Kota Denpasar, Bali, yang mengusulkan agar program “ngajari” anaknya para TKI ini denganmelibatkan dan  memanfaatkan tenaga lokal, baik guru, penilik, tutor, pamong belajar SKB untuk di mobilisasi mensukseskan program ini. “Kalau gagasan ini bisa dilaksanakan, maka dana yang begitu besar akan dapat menjangkau sasaran yang lebih besar lagi, karena dana yang digunakan untuk menggaji seorang PB dan WI yang dikontrak itu bisa digunakan untuk mengontrak beberapa tenaga lokal yang mutunya hampir sama. Tapi ya tidak tahu lagi kalau ada kepentingan lain yang melatar belakanginya.” Kata pria asli nganjuk, jawa timur mengomentari gagasannya si Yudil.

Pembaca localhost/ipabi pun boleh berkomentar tentang gagasan nyeleneh ini, untuk itu dipersilahlan memberi komentar dengan bebas dan bertanggungjawab sebagai seorang pekerja PNF. dengan berkomentar itu secara tidak langsung kita telah belajar tentang kehidupan itu sendiri. Wassalam. [Ebas/humas localhost/ipabi]