Oleh Abdurahman

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berkehendak menjadikan pendidikan kepramukaan sebagai mata pelajaran mulai jenjang Sekolah Dasar pada tahun ajaran 2013/2014. Kebijakan ini terkait dengan perubahan kurikulum sekolah pada semua jenjang dengan menekankan aspek kognitif, afektif, psikomotorik melalui penilaian berbasis test dan portofolio saling melengkapi. Namun demikian, apakah kebijakan ini sudah tepat? Khususnya ditinjau dari aspek internal Gerakan Pramuka sebagai organisasi penyelenggara pendidikan kepramukaan yang ditugasi negara?

Gerakan Pramuka diberi tugas dan wewenang oleh negara, bukan pemerintah,  sebagai satu-satunya lembaga yang menyelenggarakan pendidikan kepramukaan. Dikatakan diberi tugas oleh negara karena Gerakan Pramuka sebagai penyelenggara pendidikan kepramukaan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010, bukan sekedar Peraturan Presiden atau Peraturan Menteri.

Pasal 1 angka 1 Undang-undang tersebut disebutkan bahwa Gerakan Pramuka adalah organisasi yang dibentuk oleh pramuka untuk menyelenggarakan pendidikan kepramukaan. Artinya, negara mengakui bahwa Gerakan Pramuka adalah organisasi non pemerintah, karena dinyatakan dibentuk oleh pramuka bukan oleh pemerintah. Dalam hal ini representasinya adalah organisasi yang bernama Kwartir Nasional Gerakan Pramuka berikut jajarannya. Bukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Pada pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010 disebukan bahwa Gerakan Pramuka berfungsi sebagai wadah untuk mencapai tujuan pramuka melalui: (a) pendidikan dan pelatihan pramuka; (b) pengembangan pramuka; (c) pengabdian masyarakat dan orang tua; dan (d) permainan yang berorientasi pada pendidikan. Hal mana tidak disebutkan dalam menjalankan fungsinya Gerakan Pramuka menjadikan pendidikan kepramukaan sebagai mata pelajaran. Karena amanat undang-undang pendidikan dan pelatihan pramuka sudah barang tentu yang diselenggarakan oleh Gerakan Pramuka, bukan mata pelajaran yang diselenggarakan oleh sekolah.

Harus dibedakan pendidikan kepramukaan yang diselenggarakan oleh Gugusdepan yang berpangkalan di sekolah, dengan mata pelajaran pendidikan kepramukaan yang diselenggarakan pihak sekolah. Ketika pendidikan kepramukaan dikategorikan sebagai ekstra kurikuler, hal tersebut masih dianggap pendidikan kepramukaan diselenggarakan oleh Gugusdepan. Karena tidak masuk dalam kurikulum sekolah.

Kebijakan pemerintah yang menjadikan pendidikan kepramukaan menjadi mata pelajaran akan bertentangan dengan pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010, yaitu pendidikan kepramukaan dalam sistem pendidikan nonformal masuk dalam jalur pendidikan nonformal. Artinya, jika pendidikan kepramukaan dijadikan mata pelajaran tidak sekedar ekstra kurikuler maka pendidikan kepramukaan dimasukkan dalam sub sistem pendidikan formal. Hal ini berpotensi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melanggar undang-undang dan bisa jadi digugat oleh Kwartir Nasional.

Informasi yang diperoleh, pada awal November 2012 pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan audiensi dengan Kwartir Nasional membahas persoalan ini sebelum dilakukan konferensi pers tentang kurikulum baru oleh Mendikbud. Pada kesempatan itu Kwartir Nasional menyatakan menolak rencana kementerian tersebut. Namun, rumornya karena petunjuk Wakil Presiden Budiono, maka pendidikan kepramukaan tetap dijadikan mata pelajaran pada kurikulum sekolah mulai tahun 2013.

Boleh jadi niat pemerintah adalah baik. Hal mana melihat perkembangan mental dan perilaku anak remaja dewasa ini pemerintah menjadi jengah dan berpandangan bahwa pendidikan kepramukaan sebagai metode yang tepat untuk mengatasi masalah moral dan karakter anak remaja dewasa ini.

Namun niat baik ini justru bisa menjadi blunder, karena melanggar undang-undang. Dan yang lebih penting lagi menodai spirit dan ideologi pendidikan kepramukaan atau pendidikan kepanduan. Ketika pendidikan kepramukaan menjadi mata pelajaran, maka ia harus mengikuti standar nasional pendidikan  yang berlaku pada jalur pendidikan formal.

Paling tidak harus segera dirumuskan standar isi, standar kompetensi lulusan, standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikannya. Di samping empat standar pendidikan lainnya. Hal tersebut akan semakin rancu, karena Gerakan Pramuka sudah memiliki kaidah dan aturan sebagaimana tertuang dalam Anggaran Dasar dan  Anggaran Rumah Tangga serta berbagai Petunjuk Penyelenggaraan yang mengatur mekanisme penyelenggaraan pendidikan kepramukaan.

Pemahaman bagaimana mengelola satuan pendidikan kepramukaan sesuai dengan ciri kepanduan bisa kita kembali kaji buku-buku karya MH Takijoeddin, di samping buku karya Baden Powell. MH Takijoeddin mengajarkan kepada pembina bahwa untuk melatih penggalang dikembangkan latihan regu dan latihan pasukan. Agar latihan regu dan latihan pasukan dapat berjalan dengan baik, maka pembina perlu menyiapkan pimpinan regu yang cakap dan memiliki jiwa kepemimpinan yang mumpuni melalui Gladian Pimpinan Regu (Dianpinru). Pemimpin regu dan wakil pemimpin regu disiapkan kecakapan dan kepemimpinannya oleh pembina yang pada gilirannya mereka akan dapat melatih anggota regunya. Jadi pada pelaksanaan latihan pasukan penggalang sebenarnya yang melatih tidak hanya pembina pasukan, pimpinan regu (pemimpin regu dan wakil pemimpin regu) juga berkewajiban untuk melatih anggotanya.

Uraian MH Takijoeddin tentang bagaimana proses latihan pada jenjang penggalang sesuai dengan ajaran Baden Powell bahwa latihan kepanduan tidak dilakukan secara klasikal, tapi saling membelajarkan. Proses latihan tidak dilakukan sendirian oleh pembina pramuka, namun dibantu oleh pemimpin regu. Baden Powell menyatakan kepada para pembina, dalam bukunya Penolong untuk Pemimpin Pandu, bahwa dalam pendidikan kepanduan bukan isi pelajaran­nya yang terpenting tetapi cara-caranya. Menurut Baden Powell pendidikan kepanduan adalah suatu sistem pendidikan yang membimbing anak dan remaja untuk melahirkan segala sesuatu secara benar, menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik, memberikan kesempatan pada perkembangan inisiatif, kedisiplinan diri, percaya diri dan menentukan tujuan sendiri.

Salah satu cara yang diajarkan Baden Powell dan dirujuk oleh MH Takijoeddin adalah memberikan kesempatan pada pemimpin regu untuk melatih anggota regunya. Karena itulah ada latihan regu dan latihan pasukan.

Itu adalah standar proses dalam latihan Pasukan Penggalang. Ketika pendidikan kepramukaan berubah format menjadi mata pelajaran saya yakin hal tersebut tidak akan bisa dilakukan. Bahkan sebelum menjadi mata pelajaran pun sudah sangat jarang gugusdepan yang menyelenggarakan Dianpinru. Kebanyakan Dianpinru dilaksanakan pada tingkat kwartir (itu pun biasanya di level Kwartir Cabang) sehingga tidak bisa mencakup seluruh pimpinan regu yang ada di wilayah kwatirnya.

Tulisan MH Takijoeddin juga menginspirasi saya untuk melakukan pencapaian syarat kecakapan umum (SKU) dan syarat kecakapan khusus (SKK). Setiap pramuka penggalang tidak lagi merasakan ujian SKU dan SKK seperti ulangan harian di kelas. Karena pada setiap latihan jika seorang penggalang sudah mampu melaksanakan sesuai dengan butir-butir dalam SKU atau SKK saya langsung memberikan tanda tangan dalam buku SKU/SKK. Untuk pelantikan penggalang ramu saya melakukan pelantikan di rumah dihadiri oleh minimal anggota regu. Uniknya, penyematan tanda kecakapan umum dilakukan oleh ayah atau ibu penggalang tersebut. Hal ini akan memberikan iklim yang kondusif dalam hubungan orangtua dan gugusdepan, dan memberikan pengalaman batin yang luar biasa bagi penggalang.

Melalui kegiatan langsung praktek dan permainan pada latihan kepramukaan dipahamkan motto siap sedia (Be Prepared) sehingga akan menjadi ‘ideologi’ setiap anggota pasukan. Dan hal itu hanya bisa dilakukan melalui proses belajar melalui pengalaman yang meliputi melakukan, mengungkapkan, menganalisa, menyimpulkan dan menerapkan. Proses ini tidak bisa dilakukan dalam format pelajaran kepramukaan, tetapi hanya bisa dilakukan dalam format latihan kepramukaan. Karena ‘’guru’’ pembina yang miskin pengalaman dan kurang pemahaman terhadap filosofi pendidikan kepramukaan akan cenderung membawa mata pelajaran kepramukaan di kelas. Atau maksimal di luar ruang kelas dalam format kegiatan belajar di kelas. Kegiatannya saja yang luar kelas, tapi format dan prosesnya sama saja.

SKU dan SKK dalam bahasa pendidikan formal adalah standar kompetensi lulusan. Namun format penilaian atau evaluasi tidak bisa dilakukan dengan menggunakan format yang berlaku ketika menjadi mata pelajaran di sekolah. Karena standar penilaian pada jalur pendidikan formal dan pendidikan kepramukaan sangat berbeda.

Nah, ketika pendidikan kepramukaan menjadi mata pelajaran maka akan ada ulangan harian dan ujian semester mata pelajaran pendidikan kepramukaan.

Terakhir, terkait dengan pelaksanaan mata pelajaran pendidikan kepramukaan maka akan dibutuhkan pendidik yang jumlahnya tidak sedikit. Pembina Pramuka saat ini sebagian besar adalah tenaga honorer bahkan juga sukarelawan. Tidak sedikit, di antara mereka yang membina pada Gugusdepan yang berpangkalan di Sekolah Dasar adalah Pramuka usia Penegak dan Pandega. Artinya ketika menjadi mata pelajaran, maka sekolah akan memaksa guru untuk menjadi Pembina Pramuka dan Dinas Pendidikan bahkan melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan menyiapkan anggaran untuk mencetak Pembina Pramuka.

Jika mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, maka mata pelajaran kepramukaan harus diampu oleh pendidik yang disebut guru, bukan pembina. Dan ia harus memenuhi standar pendidik sebagai mana diatur dalam pasal 28, yaitu pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.. Artinya ‘’guru’’ mata pelajaran pendidikan kepramukaan juga harus memiliki (1) kualifikasi minimal S1 atau DIV; (2) latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang yang diampu; (3) memiliki sertifikat sebagai pendidik (Pasal 29 PP Nomor 19 Tahun 2005).

Menurut Peraturan Pemerintah tersebut, seorang guru bahasa Inggris harus memiliki kualifikasi minimal S1 atau DIV jurusan Bahasa Inggris, dan telah mengantongi sertifikat guru bahasa Inggris yang diperoleh baik melalui pendidikan profesi prajabatan atau pun dalam jabatan. Demikian pula guru matematika harus memiliki kualifikasi minimal S1 atau DIV jurusan Matematika, dan telah mengantongi sertifikat guru Matematika.

Lantas, untuk ‘’guru’’ mata pelajaran pendidikan kepramukaan kualifikasi apa yang diperlukan? Bagaimana pula sertifikasinya? Karena itu tidak heran jika kemudian muncul ide ‘’kreatif’’ dari seorang Kakak Pembina ‘’Nanti kita bisa mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Kepramukaan, hebat khan?!’’. Waduh… Tambah runyam nih.

AbdurahmanAbdurahman adalah Pamong Belajar Muda BP PAUDNI Regional IV Banjarbaru.