Semenjak diberlakukannya Keputusan MENPAN Nomor 15/KEP/M.PAN/3/2002 tentang Jabatan Fungsional Penilik dan Angka Kreditnya maka penilik berubah menjadi jabatan fungsional. Selama enam tahun fungsionalisasi jabatan penilik telah dilakukan, namun penilik yang diidamkan memiliki paradigma baru belum juga terwujud. Bahkan sebelum rincian jabatan fungsional penilik dapat dilaksanakan dengan baik kini keputusan Menpan tersebut sedang dilakukan pengkajian dan telah disusun draft Peraturan Menteri yang baru tentang jabatan fungsional penilik dan angka kreditnya.  Hal tersebut tidak terlepas dari masih belum sempurnanya Keputusan Menpan Nomor 15/KEP/M.PAN/3/2002, terlebih manakala dihadapkan pada perkembangan di lapangan dengan telah berlakunya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru dan berbagai peraturan perundangannya. Sebut saja Peraturan Pemerintah nomor 19 Tahun 2005 yang dalam pasal 40 ayat 1 menyebutkan bahwa pengawasan pada pendidikan nonformal dilakukan oleh penilik satuan pendidikan. Artinya, secara yuridis formal kedudukan penilik sudah jelas bahwa dewasa ini ia sebagai pengawas, pengawas pada satuan pendidikan nonformal. Payung hukum ini kemudian mensejajarkan posisi penilik dengan pengawas pada pendidikan formal. Dengan demikian aktualisasi penilik dalam melaksanakan tugas jabatannya adalah melakukan pengawasan dari aspek manajemen pendidikan dalam penyelenggaraan satuan pendidikan nonformal, melakukan supervisi pendidikan, serta mampu membina, membimbing pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal. Karenanya penilik bukan lagi operator di lapangan atau penyelenggara satuan pendidikan atau juga hanya sekedar pembimbing penyusunan proposal blockgrant PKBM. Implikasinya jabatan penilik diposisikan berada ’di atas’ pendidik dan pengelola satuan pendidikan nonformal, sebagaimana pengawas pada pendidikan formal yang bertugas mensupervisi guru dalam melaksanakan tugas pembelajaran. Analog dengan pengawas, maka penilik harus mampu melakukan supervisi terhadap pendidik dan tenaga kependidikan satuan pendidikan nonformal dalam melaksanakan tugasnya. Dengan demikian ia harus menguasasi konsep dan keilmuan bidang garapan yang disupervisi, di samping ia juga harus menguasai konsep, metode, prinsip dan teknik supervisi pendidikan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan nonformal. Kesimpulannya untuk menjadi penilik, analog dengan pengawas yang berasal dari guru, ia harus terlebih dahulu merasakan menjadi pendidik atau tenaga kependidikan pendidikan nonformal lainnya.
Tidak seperti sementara sudah terjadi di sebuah kabupaten di DIY yang mengangkat penilik dari CPNS. Hal tersebut ternyata sudah bertentangan dengan bunyi pasal 40 ayat 2 Peraturan Pemerintah nomor 19 Tahun 2005, yaitu: Kriteria minimal untuk menjadi penilik adalah:
a. berstatus sebagai pamong belajar/pamong atau jabatan sejenis di lingkungan pendidikan luar sekolah dan pemuda sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun, atau pernah menjadi pengawas satuan pendidikan formal;
b. memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
c. memiliki sertifikat pendidikan fungsional sebagai penilik; dan
d. lulus seleksi sebagai penilik.
Memperhatikan aturan hukum di atas dapat disimpulkan bahwa jabatan penilik merupakan salah satu pilihan jabatan karier lanjutan bagi para pamong belajar. Namun demikian, dengan kondisi kepenilikan yang ada saat ini apakah jabatan penilik menjadi menarik bagi pamong belajar??
Selanjutnya, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah menggariskan bahwa jabatan penilik terdiri dari (1) Penilik Pendidikan Anak Usia Dini, (2) Penilik Pendidikan Kesetaraan, serta (3) Penilik Pendidikan Keaksaraan, Kursus, dan Pelatihan. Ketiga jenis jabatan penilik tersebut masing-masing memiliki standar kualifikasi dan kompetensi yang berbeda-beda karena sasaran satuan pendidikan nonformal yang disupervisi karakteristiknya memang berbeda. Hal tersebut dilandasi pemikiran, bahwa seorang penilik tidak mungkin tahu konsep dan keilmuan serta teknis pembelajaran semua jenis satuan pendidikan nonformal.
Memperhatikan standar kualifikasi jabatan penilik di atas, dapat dipahami seorang penilik diharapkan sudah kenyang pengalaman lapangan terlebih dahulu. Sudah pernah melakukan kegiatan sebagai pendidik dan atau penyelenggara satuan pendidikan. Oleh karenanya tidak mungkin mengangkat penilik dari CPNS, karena ada syarat minimal pangkat dan golongan serta pengalaman kerja.
Ke depan, sebagaimana amanat Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 bahwa secara berencana dan bertahap standar nasional pendidikan ditingkatkan, maka standar kompetensi penilik (juga standar kualifikasi) harus pula ditingkatkan. Maka BSNP merumuskan standar kompetensi penilik yang meliputi (1) kompetensi kepribadian; (2) kompetensi sosial; (3) kompetensi supervisi manajerial; (4) kompetensi supervisi akademik; (5) kompetensi evaluasi pendidikan; dan (6) kompetensi penelitian dan pengembangan.
Kompetensi yang spesifik, yaitu kompetensi supervisi manajerial, kompetensi supervisi akademik, kompetensi evaluasi pendidikan, dan kompetensi penelitian dan pengembangan diperoleh calon penilik melalui pengalaman kerja yang panjang disamping melalui pendidikan akademik. Dengan demikian dalam pengangkatan seorang PNS dalam jabatan penilik diharapkan dapat mempertimbangkan pengalaman dan kapasitas yang dimiliki calon penilik.
Manakala kita ingin memperbaiki mutu penyelenggaraan satuan pendidikan nonformal maka dapat dimulai dari pola rekrutmen penilik yang benar-benar terukur sesuai dengan standar kualifikasi dan kompetensi yang sudah ditetapkan oleh BSNP di atas. Logikanya adalah bahwa penilik akan melakukan supervisi, pengawasan sekaligus pembinaan terhadap pendidikan dan tenaga kependidikan dalam menyelenggarakan proses pendidikan nonformal. Apabila penilik yang melakukan supervisi memiliki kualifikasi dan kompetensi yang standar maka secara bertahap satuan pendidikan nonformal yang disupervisi akan meningkat kualitasnya. Namun demikian apabila dalam rekrutmen penilik dilakukan tidak mengindahkan standar kualifikasi dan kompetensi maka akan menyulitkan upaya peningkatan mutu penyelenggaraan pendidikan nonformal.
Oleh karenanya paradigma baru cara bekerja penilik merupakan tantangan sekaligus dapat menjadi kendala, bergantung darimana kita memandang. Manakala kita memiliki sudut pandang untuk senantiasa meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan nonformal maka standar kualifikasi dan kompetensi di atas akan menjadi tantangan kita bersama untuk mewujudkan. Ada tenggat waktu 1 tahun bagi dinas pendidikan kabupaten/kota untuk menyesuaikan diri dengan peraturan mendiknas tentang standar kualifikasi dan kompetensi penilik sejak tanggal ditetapkan. Artinya penilik yang selama ini belum dibagi tugas menurut bidang garapan PAUD, kesetaraan, serta keaksaraan, kursus dan pelatihan diharapkan dalam waktu satu tahun dapat menyesuaikan diri menugaskan penilik ke dalam bidang garapan penilik PAUD, penilik kesetaraan, serta penilik keaksaraan, kursus dan pelatihan.
Sedangkan untuk standar kualifikasi penilik efektif berlaku 5 tahun sejak tanggal ditetapkan. Artinya para penilik yang belum memiliki kualifikasi pendidikan sarjana atau D-IV masih diberi kesempatan untuk meningkatkan kualifikasinya dengan mengikuti pendidikan strata yang dapat memperoleh dana bantuan pendidikan yang dialokasikan melalui SKB dan BPKB.
Namun demikian untuk standar kompetensi penilik mulai berlaku sejak ditetapkan, dengan demikian setiap penilik yang sudah menduduki jabatan diharapkan dapat menyesuaikan diri untuk memenuhi standar kompetensi. Upaya peningkatan standar kompetensi penilik tersebut dapat dilakukan dengan kegiatan peningkatan mutu PTK PNF yang dialokasikan melalui Sanggar Kegiatan Belajar Kabupaten/Kota dan BPKB Provinsi.