fauzi (1)Konon, sudah menjadi rahasia umum, yang namanya pasal karet adalah pasal yang bisa diterjemahkan sesuai kepentingan/pemahaman untuk dijadikan senjata oleh para pengambil kebijakan terkait dengan nasib karier pegawai, dalam hal ini nasib jabatan fungsional penilik dan pamong belajar.

Keppres nomor 49 tahun 1995, tentang perpanjangan batas usia pensiun bagi pegawai negeri sipil yang menduduki jabatan pamong belajar. Dimana, dalam Pasal 1 disebutkan, Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan Pamong Belajar dalam jenjang: a. Pamong Belajar Pratama; b. Pamong Belajar Muda; c. Pamong Belajar Madya; d. pamong Belajar Utama Pratama; e. Pamong Belajar Utama Muda; batas usia pensiunnya dapat di perpanjang sampai dengan 60 (enam puluh) tahun.

Kemudian, dalam Perpres nomor 63 tahun 2010 tentang perpanjangan batas usia pensiun bagi pegawai negeri sipil yang menduduki jabatan fungsional penilik. Pasal satu menyebutkan bahwa pegawai negeri sipil yang menduduki jabatan penilik, batas pensiunnya dapat diperpanjang sampai dengan 60 (enam puluh) tahun.

Penerapan pasal ini, di masing-masing daerah tidak sama, sesuai dengan keyakinan dan niat baik pejabat setempat dalam memahami dan menterjemahkan pasal tersebut, sebelum mengambil keputusan nasib penilik dan pamong belajar. Ada daerah yang menganggap bahwa pamong belajar masuk pada komunitas pendidik (guru dan dosen) sehingga otomatis pensiun di usia 60 tahun. Ada yang harus di proses dulu agar bisa 60 tahun, pun ada daerah yang langsung memfonis dengan memensiunkan penilik dan pamong belajar di usia 56 tahun tanpa pertimbangan.

Memang, kata-kata ‘dapat’ dalam kalimat “ … dapat diperpanjang …” inilah yang biasanya dipermasalahkan (bahkan bisa diperjual belikan), sebagai senjata para pimpinan untuk menjinakkan penilik dan pamong belajar yang dianggap mursal, tidak loyal, kurang disiplin, dedikasi rendah, maupun minim prestasi dan dianggap membahayakan kedudukan dan mencemarkan nama baik lembaga serta penilaian subjektif lainnya sesuai selera yang maha kuasa.

Pasal ini pun juga bisa dimanfaatkan oleh politisi lokal, untuk acara dukung mendukung dalam gelaran pilkada. Sebagai bawahan, penilik dan pamong belajar rentan dimobilisasi dalam pusaran politik, dengan konsekwensi jika jagonya kalah, maka siap-siap saja dipensiunkan oleh penguasa baru yang dendam karena tidak didukung.

Beberapa waktu yang lalu sempat muncul optimisme dengan munculnya kabar perubahan PP 19 tahun 2009, yang memungkinkan dimasukkannya ayat yang mengatur pamong belajar dalam salah satu pasalnya, sebagai payung hukum untuk menguatkan posisi pemegang amanat program pendidikan nonformal. Namun nyatanya, setelah berubah menjadi PP 32 tahun 2013, Fauzi Eko Pranyono dalam catatannya mengatakan bahwa dengan adanya perubahan itu pamong belajar tetap tidak direken oleh pemerintah. Dengan bahasa lain, mBakyu Yetti Pudiyantari, sebagai seorang ibu menunjukkan kegemasannya dengan memposting kegalauannya, bahwa Dengan tidak dimasukkannya ayat pamong belajar di PP 32 tahun 2013, PP ini telah mengebiri keberadaan Pamong Belajar dan hanya melegalisasi terbitnya kurikulum 2013. Pemerintah tidak melakukan evaluasi komprehensif atas PP no 19 tahun 2005. Suatu kebijakan yang sia-sia ! … duh memprihatinkan.

Yah, ternyata Bos kita di Jakarta tidak agresif memperjuangkannya, apa karena dampak ‘karut marutnya pelaksanaan UN” yang memakan korban itu?. Sungguh, kalah gesit, tidak secerdas kementerian lain dalam mengegolkan nasib profesi anak buahnya, yang tupoksinya mirip dengan pamong belajar. Lho kok bisa ya?. Apa karena pamong belajar kurang kompak dan sekaligus kurang nekat mendorong Bos kita, sehingga beliaunya terlena?.

Ya, sesungguhnyalah tidak semua pamong belajar berani bersuara nakal untuk bersama-sama menyuarakan keprihatinan, apalagi bergerak bersama turun ke jalan menuntut perubahan. karena sebagian sudah nyaman di zona aman. Yang lantang berteriak dengan postingan dan komen nakal, hanya beberapa gelintir.

Kondisi tanpa persatuan inilah, kiranya yang memperlemah posisi pamong belajar dimata penguasa. Apalagi tanpa disadari munculnya rivalitas yang tidak sehat pun, menjadikan pasal karet diatas memungkinkan sebagai alat saling menjatuhkan diantara pegiat pendidikan nonformal, dengan jalan mengipasi pimpinan agar menyingkirkan rivalnya dengan tidak memperpanjang masa pensiunnya sampai dengan 60 (enam puluh) tahun. [eBas/humas.ipabipusat].