PAUD kembali ke khittahSejak muncul kesadaran kolektif akan pentingnya pendidikan anak usia dini (PAUD), maka semuanya bicara PAUD, dimana-mana oleh siapa saja. Saking pentingnya, pihak Kemendikbud pun  melahirkan Direktorat PAUD yang dengan dukungan politis, dipercaya mengelola anggaran besar demi upaya menciptakan generasi baru yang beriman, bertaqwa, berbudaya, bermoral, beretika, beradab dan berakhlak mulia berdasarkan falsafah Pancasila. Tidak seperti yang saat ini sering terjadi, pelajar berhobi tawuran, tindak kriminalitas, bermain-main kelamin dibawah pengaruh minuman keras dan narkoba serta tindak asusila lainnya yang memiriskan hati dan menjauh dari karakter  dan budaya Indonesia.

Gerakan sadar PAUD pun terus bergema, bergulir keman-mana, keberbagai pelosok negeri dengan berbagai gaya penyelenggaraan sesuai tingkat pemahamannya terhadap PAUD. Tiba-tiba peran dan status Bunda PAUD menjadi penting, seminar sana, diklat sini, membicarakan aneka konsep dan metode untuk “merekayasa”  masa emas anak usia dini sebagai calon pewaris negeri. Para pakar PAUD pun laris manis diundang kemana mana, ‘ngamen sana sini’ menjual argumentasi mengorbankan tupoksinya demi memperbaiki kualitas bangsa dengan mengembangkan otak kiri (kognitif) dan otak kanan (afektif, empati) disaat anak dalam ‘masa emas’ pertumbuhan. Beberapa pakar PAUD sering mengatakan anak adalah imitator yang hebat, sehingga Bunda PAUD perlu melakukan pengulangan-pengulangan dalam proses pembelajarannya, agar anak mudah mengimitasi untuk kemudian secara spontan melakukan perilaku yang konsisten sesuai dengan pengulangan yang dicontohkan oleh Bunda PAUD.

Dalam perjalanannya, penyelenggara PAUD mengalami pergeseran ‘orientasi’, tanpa disadari, praktek-praktek kapitalisasi persekolahan diadopsi dalam penyelenggaraannya, yang semula sangat sederhana menjadi mewah berbayar mahal, tanpa disadari pula orang tua menjadikan lingkungan PAUD sebagai ajang pamer busana, kekayaan sekaligus arena dagang sambil bergosip, saat menunggui putra putri kecilnya di ‘up grade’ kognitif, afektif dan psikomotornya. Semua lembaga PAUD pun kini berlomba-lomba tampil genit untuk bersaing menggaet konsumen sebanyak-banyaknya dengan berbagai ‘menu tambahan’ yang dipercaya dapat mengaktifkan otak kanan, kiri, depan dan belakang serta kelenturan gerak yang memacu perkembangan kognitifnya, seperti renang, ngaji, menari, deklamasi, senam ceria, bahasa inggris, balet, seni suara serta permainan edukatif lainnya yang konon semua itu porsi di sekolah taman kanak-kanak. Tentu, semuanya ada biayanya yang tidak murah, jerbasuki mowo beo, kata orang jawa. Sehingga praktek di lapangan, tampilan PAUD, TK dan Play group tipis sekali bedanya, sesuai dengan tingkat kreatifitas pengelolanya.

Demam PAUD terus mewabah, lahir kemudian istilah satu desa satu PAUD (kini mungkin sudah beberapa PAUD berdiri di satu desa) sebagai antisipasi membludaknya balita akibat gagalnya program keluarga berencana yang pernah menjadi primadona orde baru. Para pegiat PAUD pun juga cepat tanggap menangkap pesan pemerintah untuk menerapkan pendidikan karakter kepada peserta didik dengan berbagai kegiatan yang dikemas dan diberi label meningkatkan serta memperbaiki karakter sesuai pesan Undang-undang Sisdiknas, yaitu, upaya mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Sayangnya keindahan program PAUD dan tampilan Bunda PAUD yang centil menggemaskan dalam berinteraksi dengan anak didiknya belumlah seindah warna aslinya. Artinya, setelah anak lulus menyelesaikan program PAUD untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, ternyata apa yang dipelajari di PAUD banyak yang ‘tertolak’ oleh gaya interaksi di jenjang tersebut. Materi-materi yang dikemas apik dalam bentuk nyanyi, gerak dan dongeng oleh Bunda PAUD belum bisa memengaruhi kultur dan gaya pelajar secara umum, bahkan lulusan PAUD banyak yang kaget untuk kemudian larut dalam kultur yang ada di sekolahnya, lupa dengan pesan-pesan moral yang dicekokkan di masa usia emasnya dengan teori otak kanan kiri. Sehingga yang terjadi, gaya dan kenakalan pelajar badung pun tumbuh subur sesuai dengan jamannya. Dimana kelakuan ‘gaul’ mereka banyak diwarnai oleh kultur yang diadopsi dari media massa. Artinya, dengan menjamurnya praktek PAUD ternyata tidak berkolerasi dengan penurunan angka kenakalan pelajar, bahkan kualitas kenakalan pelajar sudah melewati ambang batas toleransi dan sudah masuk ke ranah hukum.

Kalau sudah begini, maka Direktorat yang menaungi PAUD harus segera mengambil langkah cerdas. Salah satunya adalah mengumpulkan model-model pengelolaan dan penyelenggaraan PAUD hasil pengembangan model yang dilakukan oleh pamong belajar untuk di desiminasikan dan di rembuk bersama untuk kemudian dikeluarkan instruksi secara nasional agar semua lembaga PAUD menggunakan buku/modul yang disusun oleh pamong belajar. Karena, jika tidak ada ‘instruksi’ dari direktorat, maka keterpakaiannya pun tidak bisa serentak, sebabnya, tidak semua lembaga PAUD mau menggunakan model ciptaan pamong belajar dengan berbagai alasan. Atau, paling tidak Direktorat merangkul IPABI, diajak bekerjasama mengadakan kegiatan pameran dan sarasehan hasil pengembangan model karya pamong belajar se Indonesia, dimana waktu pelaksanaannya dibarengkan dengan perayaan Hari Aksara Internasional atau peringatan Hari Pendidikan Nasional. Disanalah nantinya akan menjadi ajang pertukaran informasi saling berkomunikasi berbagi pengalaman dalam menyusun dan melaksanakan model.

Sungguh ini perlu dilakukan untuk menepis kritikan Sanapiah Faisol, dosen PLS Universitas negeri Malang yang sudah senior, dimana beliau melontarkan kritik yang cukup menggelikan bahwa sudah sekian tahun BPPNFI dan BPKB se Indonesia menyusun model PNF dengan berbagai judul dan berjumlah banyak, tapi kenapa masalah PNF selalu ada mengiringi perjalanan bangsa ini ?. Pasti ada yang salah, atau, jangan-jangan masalah itu memang sengaja dipelihara demi kontinuitas proyek.

Keprihatinan Sanapiah ini sungguh naïf, seakan Sanapiah sebagai orang yang baru kenal program PNF. Yah, mungkin kritik Sanapiah itu sekedar kicauan pakar yang suka bermain-main dengan teori dan asumsi yang utopis sejalan dengan usianya yang sudah memasuki jenjang manula.

Mudah-mudahan pamong belajar yang bergiat di dunia PAUD merasa ‘galau’ dengan kritikan Sanapiah serta mampu mengerem perkembangan PAUD yang cenderung genit dan elitis (apalagi para pengurus organisasi PAUD yang tidak hanya sekedar pamer penguasaan konsep dan pinter ngomong dalam forum pertemuan tapi juga cenderung pamer kemewahan lewat simbul-simbul pakaian dan asesoris yang menyertai). Ayo…..pamong belajar bangkitlah, kembalikan PAUD sesuai dengan khittahnya.*[ebas/humas.ipabipusat_online]