Ternyata Batung Bingar Tidak Selalu Lancar
Kendala mengajari warga belajar yang berasal dari buta huruf murni (BH murni), itu harus sering mengulang beberapa kali disetiap petemuan, serta mengenalkan huruf dengan benda-benda yang ada disekitarnya, diselingi dengan menghafal kata kunci dalam konsep batung bingar.
Pernyatan diatas disampaikan oleh Sumarsih, tutor program percontohan keaksaraan dasar model batung bingar, di Dusun Kalaban, Desa lalangon, Kecamatan Manding, Kabupaten Sumenep Jawa Timur, saat kegiatan monev program PAUDNI SKB Sumenep, oleh staf BP-PAUDNI Regional II Surabaya.
Masih menurut Sumarsih, yang juga sebagai pendidik PAUD, masalah penglihatan warga belajar karena faktor usia juga sangat berpengaruh terhadap kelancaran belajar membaca dan menulis, sehingga berpengaruh juga pada hari efektif yang telah ditentukan, belum lagi jika hujan atau ada kegiatan kemasyarakatan yang tidak bisa ditunda, sehingga kegiatan belajar harus ditiadakan pada hari itu. Masalah kecil ini pun juga turut berpengaruh pada semangat warga belajar.
“Untuk itu, menurut saya waktunya perlu ditambah agar warga belajar yang dari BH murni bisa calistung dengan baik. Karena, 24 hari efektif tanpa jeda itu hanya bisa dilakukan oleh warga belajar putus sekolah SD (DO SD) kelas 3 ke atas, sedang untuk warga belajar BH murni perlu ditambah, misalnya menjadi 35 hari efektif. Tentu semuanya akan berpengaruh pada dana operasional. Tapi, itulah idealnya agar batung bingar manjur untuk mengurangi jumlah penyandang buta huruf,” Kata wanita paruh baya yang masih kelihatan cantik, berdasar pengalamannya menjadi tutor progam keaksaraan fungsional binaan SKB Sumenep.
Dalam kegiatan monev itu, juga disimulasikan bagaimana cara tutor melakukan kegiatan belajar mengajar, dengan menggunakan media pembelajaran hasil kreasi sendiri untuk mempermudah warga belajar mengenal calistung. Selain itu warga belajar juga belajar keterampilan membuat kerupuk wortel, kerupuk puli, keripik singkong dan tape singkong.
“Hasilnya lumayan, semua warga belajar bisa mengerjakan, masalahnya terletak pada pemasaran hasil yang sampai kini belum menemukan solusi. Disisi lain, tidak semua warga belajar mempunyai jiwa wirausaha yang kuat.” kata tutor yang sudah mengikuti beberapa kali diklat keaksaraan ini.
Hal ini dibenarkan oleh Pak Musa, pamong belajar SKB Sumenep yang dipercaya mengelola program. Dikatakan bahwa modal usaha yang diberikan kepada masing-masing kelompok hanya lima ratus ribu rupiah, ini sulit untuk digunakan sebagai modal kerja, sehingga dari tahun ke tahun, setiap ada program batung bingar, selalu saja modal tersebut digunakan untuk usaha simpan pinjam.
“Yang terjadi, setelah program pembelajarannya selesai dan memulai mencoba usaha kelompok dalam bentuk simpan pinjam, tidak bisa lestari karena berbagai faktor.” Kata Pak Musa menceritakan pengalamannya terkait penggunaan dana usaha yang Cuma sedikit. Mungkin, lanjut bapak berkumis ini, jumlah dana perlu diperbesar agar bisa digunakan untuk modal yang benar-benar bisa menjadi mata pencaharian tambahan yang dapat membantu peningkatan ekonomi rumah tangganya.
Terkait dengan pelaksanaan program batung bingar, Hasan, pamong belajar senior di SKB Sumenep, mengatakan bahwa cocoknya, batung bingar itu untuk warga belajar DO SD ke las 3 ke atas. Kalau DO SD kelas 1 atau kelas 2 akan mengalami kesulitan, apalagi BH murni yang nota bene sudah banyak yang masuk golongan manula.
“Untuk itu, kalau ingin membisakan warga belajar BH murni, maka waktu yang dicanangkan selama 24 hari efektif tanpa jeda itu harus ditambah waktunya, namun semua itu masih perlu kajian mendalam untuk memperoleh formula jitu memberantas BH,” Kata pria berkacamata ini.
Memang, dalam konsep batung bingar itu mensyaratkan warga belajarnya disiplin dan aktif mengikuti program pembelajaran tanpa jeda selama 24 hari pertemuan (revisi dari yang semula hanya 12 hari pertemuan tanpa jeda) yang dilanjutkan dengan belajar di rumah. Begitu juga keterlibatan pengelola dan tutor, yang harus ekstra aktif dalam membina dan mendampingi warga belajar, sesuai dengan langkah-langkah yang diatur dalam konsep batung bingar, hasil pengembangan model pamong belajar BP-PAUDNI Regional II Surabaya, dengan dukungan dana puluhan juta dari Ditjen PAUDNI. seperti diketahui, model ini adalah produk unggulan dari Balai yang beralamatkan di jalan gebang putih 10, Kecamatan Sukolilo, Surabaya. [eBas/humas ipabi.pusat_online]
Bisakah model ini diberlakukan kepada seluruh penyelenggara program PNF khususnya program Pemberantasan buta huruf.
Dana yang paling mengakses program PBH masih dari Dinas Pendidikan Propinsi. Dinas Propinsipun masih enggan untuk memakai model ini. Jika ini merupakan model yang efektif, aktif , representatif dan cepat bisa merespon cara belajar penyandang buta huruf.
Dari beberapa kali pengalaman penyelenggaraan model Batung Bingar yang dilaksanakan UPT SKB Sumenep, untuk penyandang BH murni memang agak kesulitan…mereka selalu tertinggal bila dibandingkan dengan yang DO kelas 1, 2 atau 3….untuk yg BH murni memerlukan kerja ekstra dari tutor…Dalam hal ini mungkin masih perlu pengkajian yg mendalam dari pengembang model khusus untuk penyandang BH murni. Terkait dengan yg disampaikan Pak Mulyono diatas, dalam konteks untuk percepatan pemberantasan buta huruf, akan luar biasa apabila model ini bisa diberlakukan kepada seluruh penyelenggara program keaksaraan dasar, dalam hal ini pengembang model atau BPPAUDNI Reg. II khususnya bisa mensosialisasikan model ini kepada Dinas Propinsi untuk bisa diterapkan dalam penyelenggaraan program keaksaraan dasar di Jawa Timur, hal ini mengingat akses (dana) untuk penyelenggaraan program keaksaraan dasar jauh lebih banyak di Dinas Propinsi, sedangkan yang dilaksanakan SKB melalui BPPAUDNI hanya 2 – 4 kelompok. Idealnya memang apa yang dilaksanakan UPT SKB dapat menjadi contoh dari penyelenggara program sejenis di masyarakat, namun hal itu akan sulit dilaksanakan apabila tidak ada kesamaan tekad, kesamaan kemauan dari pemangku kepentingan atau pengambil kebijakan di daerah terkait dengan program PBH yang dilaksanakan.