13880416_10201769665959300_7813610018948182573_n

Oleh Edi Basuki

Jika dipikir-pikir sambil nyeruput panasnya kopi, kita para pegiat pendidikan nonformal, baik itu sebagai pamong belajar, penilik, tutor, dan pengelola program, sepertinya hidup dalam dunia sandiwara. Bagaimana tidak, sering kita menasehati peserta didik dengan kalimat-kalimat normatif tentang nilai-nilai kejujuran, disiplin, rajin dan sebagainya lewat pendidikan karakter (seperti yang akhir-akhir ini didengungkan dengan segala pro kontranya), dan slogan-slogan anti korupsi yang digelar dimana-mana agar diketahui masyarakat.

Namun disisi lain, banyak contoh perilaku koruptif diperagakan oleh orang-orang yang berkecimpung di dunia pendidikan sebagai pengendali program. Seperti perbuatan yang tega nyubit bansos, ngambil blokgren, menyalahgunakan DAU dan DAK, serta mempraktekkan gratifikasi untuk urusan proyek pengadaan sarana prasarana pendidikan. Tentu berita yang dipublikasikan diberbagai media ini, pasti akan dilihat dan dibaca oleh khalayak ramai, juga para peserta didik.

Jadi jangan heran jika bibit-bibit koruptif itu akan selalu ada disegala jaman dengan segala variannya sesuai kearifan lokal setempat. Apalagi hal ini ditunjang dengan adanya budaya permisif untuk menyelesaikan berbagai urusan dan membijaksanai permasalahan.

Sungguh, perbedaan antara teori dan praktek tentang implementasi pendidikan karakter menjadikan peserta didik bingung dan pendidik pun tersenyum kecut bila mengingat tentang delapan belas nilai karakter yang wajib disebarkan kepada peserta didiknya, seperti nilai religious, jujur, toleransi, disiplin, kreatif, kerja keras, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan,, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Penyampaian pendidikan karakter diharapkan mengedepankan keberagaman dan kearifan lokal agar mudah dipahami oleh peserta didik.

Harapannya tentu ke delapan belas nilai karakter itu bisa dikembangkan dalam proses belajar yang beraroma PAIKEM (pembelajaran aktif inovatif kreatif efekti dan menyenangkan), sehingga mudah terinternalisasikan dalam perilaku kehidupan peserta didik. Namun tampaknya, semua masih jauh panggang dari api. Mengingat, sebelum lahirnya delapan belas nilai karakter, sudah pernah muncul konsep pendidikan holistik dengan slogan Olah hati, Olah pikir, Olah raga, dan Olah rasa/karsa. Hasilnya pun sebelas duabelas, setali tiga uang.

Konon, seiring dengan gencarnya menkeu melakukan pengeprasan anggaran, Pak menteri pendidikan akan mencanangkan peningkatan pendidikan vokasi, guna mendukung gerakan Indonesia kompeten, dimana para penyelenggara pendidikan nonformal  didorong memperkuat dan meningkatkan kompetensi, mutu dan sarana pendukung lainnya sehingga lulusannya benar-benar mampu bersaing di pasar kerja sesuai standar MEA yang menuntut kompetensi dan kinerja yang tinggi, maupun menyiapkan lulusannya untuk bekerja mandiri. Paling tidak nilai-nilai karakter disiplin, kreatif, kerja keras, mandiri, harus ditekankan untuk mensukseskan gerakan Indonesia kompeten.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana praktek pendidikan karakter di program kesetaraan?. Wow … kalau boleh jujur agak sulit dipraktekkan. Mungkin hanya karakter sopan santun, saling menghormati, dan saling menolong yang bisa dipraktekkan, sehingga proses pembelajaran bisa berjalan aman terkendali sesuai petunjuk yang ada, termasuk laporan beres.

Hal ini mengingat karakteristik peserta didik program kesetaraan itu unik dan beragam, termasuk motivasi mengikuti program pun beragam. Jadi, tutor dan pengelolanya hanya mengenalkan ke delapan belas nilai karakter dan slogan holistik kepada peserta didik, masalah mereka mempraktekkan dalam kehidupan kesehariannya, ya terserah saja. Karena meraka pun juga sudah memiliki nilai dan norma sendiri yang dipelajari setiap hari saat berinteraksi dengan komunitasnya.

Program pendidikan kesetaraan pun katanya punya rencana memberlakukan sistem pendidikan berbasis internet, sehingga peserta didik tidak harus bertatap muka, dan dimungkinkan bisa lulus lebih cepat dari waktu tempuh yang biasa dipersyaratkan. Jika rencana ini benar dijalankan, mungkin yang harus dibenahi dulu adalah regulasinya agar tidak tumpang tindih, sarprasnya pun distandarkan agar ada kesamaan, termasuk menyiapkan tutor dan pengelola agar tidak mengalami gagap teknologi.

Sekali lagi yang harus dipikirkan adalah bagaimana cara menularkan pendidikan karakter kepada peserta didik ditengah-tengah masih kuatnya sikap pragmatis di lingkungan dinas pendidikan. Penulis sendiri pun sebagai bagian dari sistem tidak luput dari sikap pragmatis ketika ada kepentingan yang bermain di dalamnya dan terpaksa. Wallahu alam bishowab. #ngudorosomingguisuk#. [edibasuki/humasipabi.pusat]**